Minggu, 24 April 2016

Beras Analog

Beras analog adalah substitusi dari beras biasa yang umumnya jadi santapan kita sehari-hari. Beras analog bisa dihasilkan dari bermacam-macam sumber karbohidrat seperti jagung, sagu, singkong, dan umbi-umbiannya lainnya. Beras analog ini pertama kali ditemukan oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) menghadapi isu dimana sekarang beras masih impor. Padahal banyak makanan pengganti beras seperti singkong, sagu dan lainnya tapi karena sudah terbiasa maka posisi beras masih tetap menjadi pilihan pertama masyarakat. Padahal tanpa disadari beras inilah juga yang memicu berbagai macam peyakit mematikan, contohnya saja diabetes. Angka kematian Indonesia sebagai negara yang makanan pokoknya nasi (beras) jauh lebih tinggi dari negara-negara eropa yang makanan pokoknya roti (terigu). Masyarakat kini mulai sadar akan pentingnya kesehatan mulai beralih pada makanan kesehatan dan salah satunya adalah beras analog ini, terutama faktor makanan ini penting giperhatikan untuk anda yang berusia 40 tahun keatas karena makanan yang anda asup perlu dijaga, terutama mengurangi makan nasi dna mulai mengganti dengan makanan pokok karbohidrat lain jagung, sagu yang bisa anda dapat dalam beras analog.

Sejak tahun 2012, para peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah mengembangkan beras analog. Dalam dunia penelitian, beras ini berbahan baku singkong, tepung sagu, jagung, umbi-umbian, dan beberapa sumber karbohidrat lain. Beras ini diciptakan sebagai diversifikasi bahan pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi terhadap beras padi.
Menurut Fransisca Rungkat Zakaria, Guru Besar Ilmu Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, bahan baku beras analog ini adalah singkong, ubi jalar, sagu, dan beberapa jenis umbi-umbian lainnya, yanh memiliki kandungan indeks glikemik (glukosa dalam karbohidrat yang terdapat pada suatu pangan) yang umumnya lebih rendah dibandingkan beras padi. Meski demikian, dibandingkan dengan beras padi, sumber karbohidrat maupun gizi yang terkandung di dalam beras analog tidak jauh berbeda.
Dengan begitu, beras ini tentu lebih sehat jika dibandingkan beras padi, terutama bagi pada penderita diabetes melitus. Dengan mengonsumsi beras analog, diharapkan kadar gula para penderita diabetes melitus lebih stabil. Lagipula, beras analog memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras padi, sehingga para penderita diabetes melitus tidak perlu mengubah pola konsumsinya, karena cara mengonsumsi beras analog sama seperti beras padi. Apalagi, nasi memang menjadi makanan utama mayoritas masyarakat Indonesia.
Sayangnya,  harga jual terbilang masih mahal dan masih menjadi kendala saat ini. Harga jual ini berdasarkan bahan baku dan proses pembuatan beras analog. "Padahal, beras analog diharapkan menjadi salah satu diversifikasi pangan, untuk mengurangi ketergantungan angka impor beras dalam negeri," ujar Fransiska yang juga anggota Komisi I Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Mari kita mengenal beras, sesuatu yang dekat sekali dengan keseharian kita. Hampir setiap hari kita menikmatinya, menyantapnya untuk memenuhi kebutuhan energi dan aktifitas kerja. Tetapi apakah kita sudah mengenalnya sedemikian rupa, sehingga kita merasa sayang? Yah, merasa sayang (mubadzir) jika masih ada sebutir nasi tersisa di bekas piring makan kita.
Di Indonesia terdapat lebih dari 176  varietas padi (Oryza sativa L.). Namun hanya beberapa diantaranya yang sering kita jumpai. Ada padi jenis IR 64/Setra Ramos, IR 42, Gogo rancah, Rojolele, Pandanwangi, Ciherang, Mutiara/Martapura dsb. Masing-masing memiliki ciri khas, terutama dalam kandungan amilosanya yang menjadi penentu tingkat kepulenan nasi. Beras dengan kadar amilosa tinggi, akan menghasilkan nasi yang ‘pera’ seperti beras Banjarmasin yang dikenal dengan beras Mutiara atau beras pada nasi Padang. Sebaliknya beras yang kandungan amilosanya rendah, akan menghasilkan beras yang pulen atau lunak seperti kebanyakan jenis nasi yang ada di Jawa.
Beberapa waktu terakhir, kita dihadapkan pada persoalan beras, mulai dari naiknya harga beras hingga pemalsuan beras dari plastik. Tentu hal ini meresahkan masyarakat dikarenakan beras merupakan (masih) makanan pokok sehari-hari. Namun dibalik itu, sebenarnya ini menjadi peluang dan tantangan kita untuk tetap survive tidak selalu menggantungkan pada beras. Selain para petani kita tetap berupaya meningkatkan produksi beras nasional dalam rangka mewujudkan swasembada pangan (beras), upaya lain adalah dengan menurunkan konsumsi beras dan menggantinya dengan beras sintetik (bukan beras plastik) atau yang lebih dikenal dengan beras analog.
Beras Analog, Beras Sehat (Healthier Rice) Kaya Manfaat
Dengan adanya kenaikan harga beras serta kontaminasi plastik pada beras, maka sebenarnya saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk lebih mengenalkan kepada masyarakat adanya pengganti nasi beras, yaitu beras analog atau designed rice. Beras analog adalah beras tiruan non padi yang dibuat dengan proses granulasi ataupun ekstrusi yang berasal dari sumber karbohodrat/pati tanaman lokal baik dengan fortifikasi (vitamin dan mineral) ataupuan tidak, sehingga tetap dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat 
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk menciptakan beras tiruan yang sehat dan bergizi, salah satunya adalah dari Food Technopark IPB. Mereka telah memproduksi, -meski masih dalam skala kecil di daerah Jawa Timur- beras analog dengan komposisi 40% tepung jagung, 30% tepung sorgum dan 30% tepung sagu. Selain itu, beras analog juga dapat dibuat dari tepung singkong atau dikenal dengan MOCAF (Modified Cassava Flour) atau juga ubi jalar, ubi ungu dan bahkan juga buah bakau/Mangrove yang dikenal dengan nama buah lindur.
Dengan komposisi yang beragam, selain kebutuhan energi akan tetap tercukupi, kandungan protein dan serat juga tetap terpenuhi. Bahkan beras analog memiliki keunggulan yaitu indeks glikemik yang rendah, sehingga sangat cocok pagi penderita diabetes. Meskipun dari sisi harga masih relatif mahal (kisaran 14000rb/kg), tetapi dengan kualitas gizi yang baik, selayaknya dapat lebih dikembangkan oleh pemrintah maupun sektor industri untuk menangkap adanya peluang ini.
Dalam pengolahannya pun hampir sama dengan menanak nasi biasa, hanya saja beras analog dimasak tidak bersamaan dengan air tetapi dimasukan kedalam rice cooker setelah air mendidih. Selin itu, perbedaan dengan nasi biasa adalah dalam hal tekstur, beras analog akan menghasilkan nasi yang lebih lunak dibanding nasi biasa, sehingga mungkin kurang cocok bagi yang sudah terbiasa dengan beras pera (kemepyur).
Melihat dan mempertimbangkan itu semua, diharapkan bagi pemerintah meningkatkan produksi sumber pati selain padi, seperti dari umbi-umbian, jagung, sagu dan sorgum juga mendukung sektor swasta terutama industri kreatif untuk mengembangkan dan memproduksi beras analog, serta lebih mensosialisasikan kepada masyarakat akan nilai lebih designed rice ini. Dengan demikian, ketahanan pangan nasional tetap dapat dipertahankan. Seiring tentunya dengan peraturan dan pengawasan dari pemerintah terhadap produk-produk sejenis artificial rice atau beras sintetis ini tentunya harus dipersiapkan dan ditingkatkan.
Sumber :
1. http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11063
2. http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=56643#.VWHalNIirIU
3. http://www.sucofindo.co.id/berita-terkini/2000/diversifikasi-pangan:-beras-analog-sukses-dikembangkan.html
4. http://gopanganlokal.miti.or.id/index.php/diversivikasi-pangan-dengan-beras-analog
5. http://ipbmag.ipb.ac.id/opini/0d1546d40ad9d59a6471e2ee0720cd6f/Pengembangan-Beras-Analog-Berbasis-Buah-Lindur-Sagu-Dan-Kitosan-Dalam-Mendukung-Ketahanan-Pangan-Nasional-Berkelanjutan
6. http://www.indonesiapanen.com/388/beras-analog-diversifikasi-pangan-dari-ipb/
7. http://majalah1000guru.net/2014/05/beras-analog/
8. http://ketahananpangannunukan.blogspot.com/2012_08_01_archive.html
9.http://indonesian.alibaba.com/product-gs/china-low-price-synthetic-rice-equipment-1630262199.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar