Beras analog adalah substitusi dari beras biasa yang umumnya
jadi santapan kita sehari-hari. Beras analog bisa dihasilkan dari
bermacam-macam sumber karbohidrat seperti jagung, sagu, singkong, dan
umbi-umbiannya lainnya. Beras analog ini
pertama kali ditemukan oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) menghadapi isu
dimana sekarang beras masih impor. Padahal banyak makanan pengganti beras
seperti singkong, sagu dan lainnya tapi karena sudah terbiasa maka posisi beras
masih tetap menjadi pilihan pertama masyarakat. Padahal tanpa disadari beras
inilah juga yang memicu berbagai macam peyakit mematikan, contohnya saja
diabetes. Angka kematian Indonesia sebagai negara yang makanan pokoknya nasi
(beras) jauh lebih tinggi dari negara-negara eropa yang makanan pokoknya roti
(terigu). Masyarakat kini mulai sadar akan pentingnya kesehatan mulai beralih
pada makanan kesehatan dan salah satunya adalah beras analog ini, terutama faktor
makanan ini penting giperhatikan untuk anda yang berusia 40 tahun keatas karena
makanan yang anda asup perlu dijaga, terutama mengurangi makan nasi dna mulai
mengganti dengan makanan pokok karbohidrat lain jagung, sagu yang bisa anda
dapat dalam beras analog.
Sejak tahun 2012, para peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah
mengembangkan beras analog. Dalam dunia penelitian, beras ini berbahan baku
singkong, tepung sagu, jagung, umbi-umbian, dan beberapa sumber karbohidrat
lain. Beras ini diciptakan sebagai diversifikasi bahan pangan untuk mengurangi
ketergantungan konsumsi terhadap beras padi.
Menurut Fransisca Rungkat Zakaria, Guru Besar Ilmu Pangan Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, bahan baku beras analog ini adalah singkong, ubi
jalar, sagu, dan beberapa jenis umbi-umbian lainnya, yanh memiliki kandungan
indeks glikemik (glukosa dalam karbohidrat yang terdapat pada suatu pangan)
yang umumnya lebih rendah dibandingkan beras padi. Meski demikian, dibandingkan
dengan beras padi, sumber karbohidrat maupun gizi yang terkandung di dalam
beras analog tidak jauh berbeda.
Dengan begitu, beras ini tentu lebih sehat jika dibandingkan beras padi,
terutama bagi pada penderita diabetes melitus. Dengan mengonsumsi beras analog,
diharapkan kadar gula para penderita diabetes melitus lebih stabil. Lagipula,
beras analog memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras padi, sehingga para
penderita diabetes melitus tidak perlu mengubah pola konsumsinya, karena cara
mengonsumsi beras analog sama seperti beras padi. Apalagi, nasi memang menjadi
makanan utama mayoritas masyarakat Indonesia.
Sayangnya, harga jual terbilang masih mahal dan masih menjadi
kendala saat ini. Harga jual ini berdasarkan bahan baku dan proses pembuatan
beras analog. "Padahal, beras analog diharapkan menjadi salah satu
diversifikasi pangan, untuk mengurangi ketergantungan angka impor beras dalam
negeri," ujar Fransiska yang juga anggota Komisi I Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN).
(health.kompas.com,
sumber: Wartakota.tribunnews.com)
Mari kita mengenal beras, sesuatu yang dekat sekali dengan keseharian
kita. Hampir setiap hari kita menikmatinya, menyantapnya untuk memenuhi
kebutuhan energi dan aktifitas kerja. Tetapi apakah kita sudah mengenalnya
sedemikian rupa, sehingga kita merasa sayang? Yah, merasa sayang (mubadzir)
jika masih ada sebutir nasi tersisa di bekas piring makan kita.
Di Indonesia terdapat lebih dari 176 varietas padi (Oryza
sativa L.). Namun hanya beberapa diantaranya yang sering kita jumpai. Ada
padi jenis IR 64/Setra Ramos, IR 42, Gogo rancah, Rojolele, Pandanwangi,
Ciherang, Mutiara/Martapura dsb. Masing-masing memiliki ciri khas, terutama
dalam kandungan amilosanya yang menjadi penentu tingkat kepulenan nasi. Beras
dengan kadar amilosa tinggi, akan menghasilkan nasi yang ‘pera’ seperti
beras Banjarmasin yang dikenal dengan beras Mutiara atau beras pada nasi
Padang. Sebaliknya beras yang kandungan amilosanya rendah, akan menghasilkan
beras yang pulen atau lunak seperti kebanyakan jenis nasi
yang ada di Jawa.
Beberapa waktu terakhir, kita dihadapkan pada persoalan beras, mulai
dari naiknya harga beras hingga pemalsuan beras dari plastik. Tentu hal ini
meresahkan masyarakat dikarenakan beras merupakan (masih) makanan pokok
sehari-hari. Namun dibalik itu, sebenarnya ini menjadi peluang dan tantangan
kita untuk tetap survive tidak selalu menggantungkan pada
beras. Selain para petani kita tetap berupaya meningkatkan produksi beras
nasional dalam rangka mewujudkan swasembada pangan (beras), upaya lain adalah
dengan menurunkan konsumsi beras dan menggantinya dengan beras sintetik (bukan
beras plastik) atau yang lebih dikenal dengan beras analog.
Beras Analog, Beras Sehat (Healthier Rice) Kaya Manfaat
Dengan adanya kenaikan harga beras serta kontaminasi plastik pada beras,
maka sebenarnya saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk lebih mengenalkan
kepada masyarakat adanya pengganti nasi beras, yaitu beras analog atau designed
rice. Beras analog adalah beras tiruan non padi yang dibuat dengan
proses granulasi ataupun ekstrusi yang berasal dari sumber karbohodrat/pati
tanaman lokal baik dengan fortifikasi (vitamin dan mineral) ataupuan tidak,
sehingga tetap dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk menciptakan beras tiruan
yang sehat dan bergizi, salah satunya adalah dari Food Technopark IPB. Mereka
telah memproduksi, -meski masih dalam skala kecil di daerah Jawa Timur- beras
analog dengan komposisi 40% tepung jagung, 30% tepung sorgum dan 30% tepung
sagu. Selain itu, beras analog juga dapat dibuat dari tepung singkong atau
dikenal dengan MOCAF (Modified Cassava Flour) atau juga ubi jalar, ubi
ungu dan bahkan juga buah bakau/Mangrove yang dikenal dengan nama buah lindur.
Dengan komposisi yang beragam, selain kebutuhan energi akan tetap
tercukupi, kandungan protein dan serat juga tetap terpenuhi. Bahkan beras
analog memiliki keunggulan yaitu indeks glikemik yang rendah, sehingga sangat
cocok pagi penderita diabetes. Meskipun dari sisi harga masih relatif
mahal (kisaran 14000rb/kg), tetapi dengan kualitas gizi yang baik, selayaknya
dapat lebih dikembangkan oleh pemrintah maupun sektor industri untuk menangkap
adanya peluang ini.
Dalam pengolahannya pun hampir sama dengan menanak nasi biasa, hanya
saja beras analog dimasak tidak bersamaan dengan air tetapi dimasukan kedalam rice
cooker setelah air mendidih. Selin itu, perbedaan dengan nasi biasa
adalah dalam hal tekstur, beras analog akan menghasilkan nasi yang lebih
lunak dibanding nasi biasa, sehingga mungkin kurang cocok bagi yang sudah
terbiasa dengan beras pera (kemepyur).
Melihat dan mempertimbangkan itu semua, diharapkan bagi pemerintah
meningkatkan produksi sumber pati selain padi, seperti dari umbi-umbian,
jagung, sagu dan sorgum juga mendukung sektor swasta terutama industri kreatif
untuk mengembangkan dan memproduksi beras analog, serta lebih mensosialisasikan
kepada masyarakat akan nilai lebih designed rice ini. Dengan
demikian, ketahanan pangan nasional tetap dapat dipertahankan. Seiring tentunya
dengan peraturan dan pengawasan dari pemerintah terhadap produk-produk sejenis artificial
rice atau beras sintetis ini tentunya harus dipersiapkan dan
ditingkatkan.
Sumber :
1. http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11063
2. http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=56643#.VWHalNIirIU
3. http://www.sucofindo.co.id/berita-terkini/2000/diversifikasi-pangan:-beras-analog-sukses-dikembangkan.html
4. http://gopanganlokal.miti.or.id/index.php/diversivikasi-pangan-dengan-beras-analog
5. http://ipbmag.ipb.ac.id/opini/0d1546d40ad9d59a6471e2ee0720cd6f/Pengembangan-Beras-Analog-Berbasis-Buah-Lindur-Sagu-Dan-Kitosan-Dalam-Mendukung-Ketahanan-Pangan-Nasional-Berkelanjutan
6. http://www.indonesiapanen.com/388/beras-analog-diversifikasi-pangan-dari-ipb/
7. http://majalah1000guru.net/2014/05/beras-analog/
8. http://ketahananpangannunukan.blogspot.com/2012_08_01_archive.html
9.http://indonesian.alibaba.com/product-gs/china-low-price-synthetic-rice-equipment-1630262199.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar